MANUSIA DAN KEADILAN
Pengertian Keadilan, Keadilan
menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan
diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak
dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda.
Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah
ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang
sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang
tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak
adil.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan
pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan
diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates memproyeksikan keadilan
pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan tercipta bilamana warga
Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah ? sebab pemerintah adalah pimpinan
pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu berpendapat bahwa
keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja
sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini
terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
Menurut pendapat yang lebih umum
dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara
hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan
menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila
setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh
bagian yang sama dari kekayaan bersama.
PENGERTIAN KEADILAN
Keadilan memberikan kebenaran, ketegasan
dan suatu jalan tengah dari berbagai persoalan juga tidak memihak kepada
siapapun. Dan bagi yang berbuat adil merupakan orang yang bijaksana.
Contoh Keadilan:
Seorang koruptor yang memakan
uang rakyat. Koruptor di tangkap dan dimasukan kepenjara selama 2 tahun tanpa
ada goresan luka sedikit pun pada wajahnya. Hal tersebut mencerminkan bahwa
hakim dan jaksa di indonesia tidak adil pada rakyat kecil yang dikarenakan
mencuri dompet mendapatkan masa kurungan lebih dari sang koruptor, padahal
koruptor lah yang mencuri uang rakyat lebih banyak dari pada pencopet itu.
Bahkan koruptor bisa mendapatkan fasilitas yang istimewa bahkan seperti
apartemen didalam penjara.
KEADILAN SOSIAL
Seperti pancasila yang bermaksud
keadilan sosial adalah langkah yang menetukan untuk melaksanakan Indonesia yang
adil dan makmur. Setiap manusia berhak untuk mendapatkan keadilan yang
seadil-adilnya sesuai dengan kebijakannya masing-masing.
5
Wujud keadilan sosial yang diperinci dalam perbuatan dan sikap:
Dengan sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang
sama untuk untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Selanjutnya untuk mewujudkan
keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1. Perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Sikap adil terhadap sesama,
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang
lain.
3. Sikap suka memberi pertolongan
kepada orang yang memerlukan
4. Sikap suka bekerja keras.
5. Sikap menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju dan terciptanya
keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan, antara
lain melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
BERBAGAI MACAM KEADILAN
a) Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan
dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan
menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan
pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind the
gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan Sunoto menyebutnya
keadilan legal.
b) Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat bahwa
keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama
dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are
treated equally) Sebagai contoh: Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun.
Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu
perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp.100.000,-maka
Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi
sama, justru hal tersebut tidak adil.
c) Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara
ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian
keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua
tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak
atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh :
Dr.Sukartono dipanggil seorang
pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan
baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka
berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai.
Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada
keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga,
hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah
tangga. Karena Dr.Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti
merusak rumah tangga Dr.Sukartono.
KEJUJURAN
Kejujuran atau jujur artinya apa
yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya
sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah
kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya
dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut
satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus
sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati janji atau kesanggupan
yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam nuraninya
yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Hakikat kejujuran dalam hal ini
adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Tuhan. Ia akan sampai
kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Tuhan
telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka
atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran.
Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Dan pada hakekatnya jujur
atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan
akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau
dosa.
KECURANGAN
Kecurangan atau curang identik
dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun
tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya
apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang
dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa
bertenaga dan usaha. Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak,
ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang
yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat sekelilingnya hidup
menderita.
Sebab-Sebab Seseorang Melakukan
Kecurangan
Bermacam-macam sebab orang
melakukan kecurangan, ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ada
empat aspek yaitu:
1. Aspek ekonomi
2. Aspek kebudayaan
3. Aspek peradaban
4. Aspek tenik
Apabila ke empat aspek tersebut
dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan
norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia dalam hatinya
telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan
yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Tentang baik dan buruk
Pujowiyatno dalam bukunya "filsafat sana-sini" menjelaskan bahwa
perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu,
merampas, memalsu dan lain-lain adalah sifat buruk. Lawan buruk sudah tentu
baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia
seakan –akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku,
karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya, namun sukarlah untuk mengajukan
ukuran penilaian mengenai halyang penting ini. Dalam hidup kita mempunyai
semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan lawannya pada tingkah
laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu
buruk.
PEMULIHAN NAMA BAIK
Nama baik merupakan tujuan utama
orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menajaga
dengan hati-hati agar namanya baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi
orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai
harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau
perbuatan. Atau boleh dikatakan bama baik atau tidak baik ini adalah tingkah
laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu,
antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara
menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya. Pada
hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala
kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau
tidak sesuai dengan ahlak yang baik. Untuk memulihkan nama baik manusia harus
tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan
harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat darma dengan memberikan
kebajikan dan pertolongan kepaa sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh
kasih sayang , tanpa pamrin, takwa terhadap Tuhan dan mempunyai sikap rela,
tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.
PEMBALASAN
Pembalasan adalah suatu reaksi
atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan serupa, perbuatan
yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
Dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa
kepada Tuhan diberikan pembalasan, dan bagi yang mengingkari perintah Tuhan pun
diberikan pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di neraka. Pembalasan
disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapatkan
pembalasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan,
menimbulkan pembalasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya, manusia adalah
makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi
norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia bermuat amoral,
lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah
perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain. Oleh karena itu
manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar, maka manusia berusaha
mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu
adalah pembalasan.
Contoh Kasus :
Ketidakadilan Negara Terhadap Rakyat
( Studi Kasus Lumpur Lapindo)
Area yang terkena dampak lumpur
Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terlihat dari udara, Kamis
(5/3/2015). Sembilan tahun setelah semburan lumpur tersebut mulai
berlangsung, pembayaran ganti rugi terhadap warga yang terkena dampak
dari lumpur tersebut belum seluruhnya tuntas. Kompas/Ferganata Indra
Riatmoko (DRA) 05-03-2015
Tulisan ini mengkaji ketidakadilan
Negara terhadap Rakyat, dalam kasus Lumpur Lapindo, Jawa Timur.
Indonesia adalah Negara yang besar karena telah mendapat legitimasi
oleh seluruh dunia menjadi Negara merdeka. Namun dalam kenyataannya
bangsa ini belum sungguh –sungguh bebas merdeka. Kita bisa lihat saja
dari kasus Lumpur lapindo yang terjadi Jawa Timur, seakan Negara
menganak tirikan daerah tersebut. Karena sejak 29 mei 2006 hingga kini
petaka Lumpur lapindo seakan masih menjadi kelabu bagi masyarakat Jawa
Timur dan sekitarnya. Pemerintah hanya sibuk menyelesaikan kasus – kasus
yang bertemakan korupsi, demokrasi, namun melupakan kebebasan rakyat
seutuhnya. Mereka lupa bahwa Negara wajib menciptakan kesejahterakan,
keadilan bagi rakyat sesuai dengah amanat Pancasila.
Namun hingga akhir 2009 sudah sekitar
Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot untuk menyelesaikan masalah
Lumpur Lapindo. Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan
Grup Bakrie, yang membuat hukum Negara ini lumpuh tak berdaya. Semburan
lumpur mengakibatkan beberapa dampak baik dari segi sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan hukum. Belum lagi kehancuran infrastruktur seperti
rel kereta api, jalan Tol Porong-Gempol yang merupakan nadi utama
transportasi ditutup secara permanen, dan jalan-jalan umum lainnya.
Dalam beberapa kasus Walhi pernah
mencoba mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo Brantas Inc, korporasi
terkait kejadian ini. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak
gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo terjadi karena
bencana alam. Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan pihak
Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti
dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian
menurut Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan
Pasal 164 Herzienne Inlandsche Reglement (HIR). Kini, bola hukum perkara
Lapindo tinggal ditangan Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM Berat
dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo masih bekerja untuk menemukan alat
bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur itu, termasuk adanya unsur
”kesengajaan”.
Dalam perkara ini, Lapindo dan
pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1
(BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran
itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima
meter). Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002
tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia,
sumur-sumur pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari
jalan umum, rel kereta api, perumahan, dan tempat-tempat lainnya.
Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003). Peruntukan lokasi
tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non
kawasan,bukan untuk pertambangan.
Penanganan semburan lumpur Lapindo di
Sidoarjo, Jawa Timur, hingga tertanggal 30 Mei 2010 sudah mencapai
Rp4,3 triliun. Namun pemerintah masih akan menggelontorkan dana untuk
penanganan lumpur hingga 2014 nanti sebesar Rp11,5 triliun.
Membengkaknya dana rakyat untuk penanganan lumpur Lapindo itu tertuang
dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam dokumen
tersebut, pemerinah akan menggelontorkan lagi dana untuk penanganan
lumpur Lapindo sebesar Rp7,2 triliun, untuk tahun 2011 hingga 2014
mendatang. Anggaran tersebut akan dialokasikan ke Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menangani semburan lumpur, penanganan
sosial dan infrastruktur. Pembangunan relokasi infrastruktur meliputi
pembangunan jalan arteri porong, jalan tol dan jalur rel kereta api.
Sehingga dana yang digunakan utuk penanganan lumpur Lapindo mencapai
Rp11,5 triliun, karena pada tahun 2007 hingga 2010 pemerintah sudah
menggelontorkan anggaran Rp4,3 triliun.
Semburan lumpur ini telah
menenggelamkan 12 desa, 24 pabrik, dan memaksa lebih dari 30 ribu warga
terusir dari rumah mereka. Namun, didalam pengelolaan penanganan lumpur
ini dinilai kurang transparan. Jumlah uang dinilai tidak sebanding
dengan upaya penanganan yang dilakukan BPLS. Volume lumpur yang saat ini
tertampung di kolam penampungan seluas 620 hektare sudah mencapai 12
juta meter kubik. Upaya pembelian kapal keruk dan mesin pompa untuk
mengalirkan lumpur ke Kali Porong sulit dilakukan. Demikian pula dengan
pembangunan relokasi infrastruktur ternyata juga tersendat karena
terkendala pembebasan lahan.
Pembayaran ganti rugi kepada para
korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di tiga desa, yakni
Pejarakan, Kedungcangkrin dan Besuki, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
sampai saat ini masih tersendat. Sesuai Perpres Nomor 48 Tahun 2008,
tiga desa tersebut ditetapkan masuk peta terdampak II dan pembayaran
atas aset warga yang terkena lumpur menjadi tanggungan pemerintah. Model
pembayaran yang ditetapkan kepada korban di tiga desa tersebut
menggunakan skema pembayaran yaitu uang muka 20 persen dan 80 persen
sisanya dibayar secara mencicil. Sama persis dengan skema yang dipakai
PT Minarak Lapindo Jaya pada 2008. Pemerintah telah mengucurkan dana
sekitar Rp 102 miliar untuk membayar uang muka 20 persen bagi warga di
tiga desa tersebut. Kemudian pada 2009 pemerintah mengucurkan dana
sekitar Rp 160 miliar lagi untuk membayar angsuran sisanya. Sejak 2007
pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan lumpur
Lapindo sekitar Rp 1,2 triliun per tahun. Namun penyerapan anggaran itu
masih terbilang kecil, cuma sekitar 50-60 persen. Hal itu karena
sebagian besar anggaran untuk keperluan relokasi infrastruktur. Dan,
sampai sekarang relokasi infrastruktur masih tersendat-sendat
pelaksanaannya.
Menurut teori Marx Weber hukum itu
dipengaruhi salah satunya oleh politik. Kita sama –sama tahu bahwa
perusahaan yang mengakibatkan Lumpur ini pemiliknya adalah Aburizal
Bakrie (Ical) yang memliki tugas baru yaitu Ketua Harian Sekber
(Sekretariat Bersama ). Memang Pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber)
Koalisi ini menuai beragam kritik. Karena kewibawaan SBY sudah diambil
setengahnya oleh Ketua Harian Sekber Koalisi. Sekber memiliki peluang
besar untuk mengendalikan pemerintahan. Hal tersebut karena posisi kuat
yang dimiliki oleh Ketua Golkar dalam struktur Sekber Partai Koalisi.
Seakan – akan Aburizal Bakrie (Ical) mampu menunggangi pemerintah ini
dengan berbagai cara apapun.
Negara ini seakan tidak mampu
mengatasi masalah Lumpur Lapindo milik Aburizal Bakrie (Ical),
pemerintah hanya sekedar menggertak saja namun dalam kenyataannya masih
ada masyarakat yang terkena Lumpur Lapindo ini yang belum menerima ganti
rugi secara adil. Bila ditelaah dengan konsep hukum maka kasus ini
sesuai dengan Mahzab Formalistis ( Jhon Austis) yang mengatakan bahwa
hukum dibuat untuk kepentingan penguasa dan atas pemeritah sehingga rasa
tidak diperhatikan. Dalam kasus Lumpur Lapindo ini kita bisa
menggunakan teori konflik. Menurut Dahrendorf konflik adalah kelompok
semu yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan.
Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan
serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi
sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Tidak hanya itu,
Dahrendorf mencoba mencontohkan. Dalam sebuah masyarakat yang terdiri
dari dua kelompok, yaitu pemegang otoritas (superordinan) dan kelompok
yang dikuasai (subordinan).
Dalam kasus Lumpur lapindo,
superordinan adalah perusahaan Lapindo, sedangkan subordinan adalah
masyarakat sidoarjo dan sekitarnya. Dengan kepentingan dan kekuasaanya
kelompok superordinan yang dikelompoki oleh para pengusaha ingin mencoba
menguasai daerah tersebut namun masyarakat setempat yang tidak memiliki
kekuatan penuh mencoba berontak dan itu semua akan menimbulkan sebuah
konflik. Menurut dahrendorf pula, kepentingan selalu memiliki suatu
harapan-harapan. Dalam hal ini perusaahaan Lapindo memegang peran demi
keuntungan perusahaan sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan
untuk mempertahankan kekuasaan. Ada asumsi yang mengatakan bahwa konflik
disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Di dalam pengamatan penulis, kasus
Lumpur Lapindo ini ditekankan oleh perusahaan Lapindo yaitu sistem jual
beli, seharusnya adalah ganti rugi. Jadi bila hasil kesepatan jual beli
itu lebih kepada negosiasi yang sifatnya memaksa. Para korban pun hanya
bisa menerima nasib yang tidak wajar oleh para penguasa kepentingan.
Negara pun tak bisa berbuat banyak karena dari awal Negara tidak
bersikap tegas kepada perusahaan Aburizal Bakrie (Ical). Padahal
Presiden kita itu dipilih langsung oleh rakyat dengan kemenangan 60 %
namun tidak bisa tegas.
Memang konflik yang terjadi dalam
kasus Lumpur Lapindo ini adalah konflik yang realistik yaitu terlihat
atau nyata. Di mana benar –benar kasus ini adalah kasus besar yang
mungkin bisa melebihi kasus Bank Centuri yang beberapa bulan yang lalu
sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Karena kasus Lumpur Lapindo
ini menyangkut hajat orang banyak, dengan bencana seperti ini segala
aktivitas terasa tersendat. Seharusnya hukum di Indonesia itu harus
ditegakkan, tidak ada tebang pilih dalam memberlakukan hukum. Setiap
yang bersalah haruslah di hukum sesuai aturan yang berlaku. Jangan
rakyat ini di bohongi oleh kebijakan atau aturan main para pengusasa
yang selalu haus akan kekuasaan.
Di sela memperingati empat tahunnya
bencana Lumpur Lapindo. Ratusan korban lumpur Lapindo menggelar aksi
teatrikal dengan membawa patung bergambar Aburizal Bakrie sebagai bentuk
refleksi peringatan empat tahun luapan lumpur Lapindo. Dalam aksi
tersebut warga juga meminta kepada pemerintah dan Lapindo bertanggung
jawab atas terjadinya perstiwa luapan lumpur panas sejak 29 Mei 2006.
Mereka meminta supaya percepatan ganti rugi terhadap korban lumpur ini
segara dilunasi dan warga bisa segera menempati rumah baru.
Ada fenomena menarik, yaitu munculnya
Yuniwati Teryana, Wakil Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc,
perusahaan penanggung jawab kasus lumpur Lapindo sebagai calon bupati
Sidoarjo. Wiwid Suwandi, petinggi perusahaan yang sama, juga muncul
sebagai calon bupati. Apa makna kemunculan mereka sebagai calon bupati
Sidoarjo? Apakah warga Sidoarjo telah melupakan kasus Lapindo?. Memang
kekuasaan politik di Negeri ini telah melebur menjadi satu, yaitu
monarki. Seakan para pengusaha mampu mengusai koalisi pemerintah dengan
asas kebersamaan.
Kesimpulan :
Setelah membaca dan menganalisa
kejadian kasus yg terjadi dan kasus ini sangat tidak adil terhadap
rakyat yg terkena dampak lumpur lapindo yg sudah 10 tahun lebih terjadi,
saya bisa menyimpulkan bahwa ketidakadilan Negara terhadap Rakyat yg
terkena dampak lumpur sangat terasa pada kasus Lumpur Lapindo yang
menyebabkan mereka semua kehilangan rumah, lahan pekerjaan, dan lainnya.
Karena ketidakseriusan Negara dalam bersikap tegas terhadap perusahaan
yang dikomandai oleh Ketua Harian Sekber (Sekretariat Bersama) dan
sekaligus Ketua Umum Partai Golkar. Ini harus menjadi perhatian
pemerintah maupun pihak – pihak yang terkait dalam terjadinya luapan
lumpur lapindo, dalam menanggani masalah yang terjadi yang sudah sekian
lama terjadi, rakyat pantas untuk mendapatkan keadilan yang jelas dari
para pelaku kasus lumpur lapindo dengan cara saling bermusyawarah dan
ganti rugi sesuai kerugian yang ditanggung semua masyarakat yg terkena
dampak lumpur lapindo.
SUMBER :
Seri Diktat Kuliah MKDU: Ilmu
Budaya Dasar karya Widyo Nugroho dan Achmad Muchji, Universitas Gunadarma
https://rahmatarifianto.wordpress.com/2016/05/31/manusia-dan-keadilan/